
Harga Energi Hijau: Hutan yang Tertebas
Kebunindonesia – Harga Energi Hijau menjadi sorotan setelah permintaan biomassa berbahan kayu dari Indonesia meningkat tajam dalam beberapa tahun terakhir. Dorongan global menuju energi terbarukan membuat biomassa di pandang sebagai solusi transisi dari bahan bakar fosil. Negara seperti Korea Selatan dan Jepang kini menjadikan pelet kayu sebagai sumber energi utama untuk pembangkit listrik mereka. Bagi pasar internasional, biomassa di anggap lebih ramah lingkungan di banding batu bara. Namun, kondisi di lapangan justru memperlihatkan sisi lain yang suram. Produksi pelet kayu dalam skala besar membutuhkan suplai kayu yang tidak sedikit. Hal ini memicu pembukaan hutan baru dan penebangan besar-besaran di sejumlah wilayah Indonesia, terutama di Sumatra dan Kalimantan.
Dampak Terhadap Hutan dan Keanekaragaman Hayati
Kenaikan nilai pasar dan tingginya Harga Energi Hijau membuat biomassa kian menggiurkan bagi pelaku industri. Akan tetapi, konsekuensinya sangat berat bagi lingkungan. Pembukaan hutan untuk memenuhi kebutuhan kayu menyebabkan hilangnya habitat alami spesies langka, seperti orangutan, harimau sumatra, dan gajah kalimantan. Kerusakan ekosistem juga memperburuk kualitas udara serta mengganggu siklus air. Para peneliti menegaskan, pelepasan emisi dari deforestasi akibat pembukaan lahan biomassa dapat mengimbangi, bahkan melampaui, pengurangan emisi dari penggunaan energi terbarukan itu sendiri. Ironi ini membuat publik mempertanyakan sejauh mana energi hijau benar-benar berkontribusi pada mitigasi perubahan iklim.
“Minyak Kelapa, Dari Pokok Jadi Mewah”
Selain aspek ekologi, dampak sosial juga tidak bisa di abaikan. Banyak komunitas adat dan masyarakat desa kehilangan akses terhadap hutan yang selama ini menjadi sumber pangan, obat-obatan, dan mata pencaharian. Mereka terdesak oleh ekspansi perkebunan energi, sementara manfaat ekonomi dari lonjakan ekspor biomassa sering kali hanya di nikmati segelintir pihak.
Tantangan dan Jalan ke Depan
Pemerintah Indonesia kini menghadapi di lema besar. Di satu sisi, ada target untuk meningkatkan porsi energi terbarukan dalam bauran energi nasional dan memanfaatkan peluang ekspor. Di sisi lain, tekanan internasional semakin kuat agar Indonesia menjaga hutan tropisnya yang merupakan salah satu paru-paru dunia. Beberapa kebijakan sedang dipertimbangkan, seperti pembatasan izin penebangan, kewajiban sertifikasi keberlanjutan, serta pemanfaatan limbah kayu dari industri perkebunan dan perhutanan sebagai bahan baku pelet.
Para pakar menekankan, Harga Energi Hijau tidak boleh dibayar dengan kehancuran hutan. Jalan tengah yang realistis adalah mendorong biomassa dari sumber berkelanjutan, seperti kebun tanaman energi yang di kelola dengan baik atau limbah organik yang melimpah. Jika tidak, transisi energi yang seharusnya membawa harapan justru akan meninggalkan jejak kerusakan yang dalam.
Ke depan, keberhasilan Indonesia dalam mengelola biomassa secara berkelanjutan akan menjadi ujian penting. Apakah energi hijau benar-benar bisa menghadirkan solusi, atau malah menjadi paradoks baru yang mengorbankan alam demi memenuhi kebutuhan global? Jawaban atas pertanyaan itu akan menentukan wajah masa depan energi sekaligus kelestarian hutan Indonesia.